Dimensi Profil Lulusan (DPL) merupakan standar kompetensi lulusan yang diharapkan terwujud setelah murid menyelesaikan setiap jenjang pendidikan. Ada 8 DPL menurut Permendikdasmen Nomor 10 Tahun 2025 yang menetapkan standar kompetensi lulusan (SKL) untuk jenjang PAUD, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah yang harus dicapai murid, meliputi Keimanan dan Ketakwaan, Kewargaan, Penalaran Kritis, Kreativitas, Kolaborasi, Kemandirian, Kesehatan, dan Komunikasi. Salah satunya adalah penalaran kritis/berpikir kritis. Berpikir kritis adalah keterampilan fundamental yang dibutuhkan dalam dunia akademik, profesi, maupun kehidupan sehari-hari. Dalam konteks pendidikan, khususnya di era digital, berpikir kritis dipandang sebagai salah satu keterampilan abad 21 yang harus dimiliki peserta didik. Kemampuan ini tidak hanya menuntut seseorang untuk memahami informasi, tetapi juga untuk menilai, mengevaluasi, serta mengambil keputusan berdasarkan logika dan bukti yang sahih.
Justin Wright dalam kerangka berpikirnya yang disebut “The Cycle of Critical Thinking” memperkenalkan lima tahap utama yang membentuk sebuah siklus, yaitu: (1) mengumpulkan bukti, (2) menantang asumsi, (3) mengeksplorasi perspektif, (4) menghasilkan alternatif, dan (5) memetakan implikasi. Kelima tahap ini tidak berdiri sendiri, tetapi membentuk suatu alur berulang yang saling memengaruhi. Tulisan ini akan membahas setiap tahap secara mendalam dengan contoh penerapan dalam kehidupan akademik dan profesional.
1. Mengumpulkan Bukti (Gather Evidence)
Tahap pertama berpikir kritis adalah verifikasi data. Informasi yang diperoleh dari berbagai sumber harus diuji validitasnya sebelum dipakai dalam analisis. Sering kali manusia cenderung percaya pada informasi yang sesuai dengan keyakinannya (confirmation bias), padahal informasi tersebut bisa saja menyesatkan.
Dalam praktik penelitian, tahap ini identik dengan proses review literatur, pengumpulan data primer, maupun analisis dokumen. Peneliti wajib memeriksa kredibilitas sumber, siapa yang menyampaikan, serta bagaimana metode pengumpulan data dilakukan.
Dengan demikian, tahap ini memastikan fondasi berpikir kritis berbasis fakta, bukan asumsi.
2. Menantang Asumsi (Challenge Assumptions)
Tahap kedua adalah mengkritisi asumsi yang sering kali tersembunyi di balik pikiran atau argumen seseorang. Asumsi merupakan keyakinan dasar yang dianggap benar tanpa diuji lebih dahulu. Dalam berpikir kritis, justru asumsi inilah yang harus dipertanyakan.
Kegagalan dalam menguji asumsi dapat menyebabkan kesalahan logika (logical fallacy). Misalnya, seseorang menganggap bahwa “semua siswa akan lebih termotivasi belajar jika menggunakan teknologi digital”. Asumsi ini tampak logis, tetapi tidak selalu benar, karena ada siswa yang justru teralihkan perhatiannya oleh teknologi.
Pertanyaan penting:
Apa yang saya anggap benar tanpa bukti?
Bagaimana jika asumsi saya keliru?
Aturan apa yang sedang saya ikuti tanpa disadari?
Dalam penelitian ilmiah, tahap ini tampak pada uji hipotesis. Seorang peneliti harus terbuka terhadap kemungkinan hipotesisnya ditolak. Justru dalam penolakan tersebut terkadang ditemukan pengetahuan baru yang lebih berharga.
3. Mengeksplorasi Perspektif (Explore Perspectives)
Berpikir kritis juga menuntut keterampilan untuk melihat permasalahan dari berbagai sudut pandang. Perspektif yang berbeda dapat membuka wawasan baru, mengurangi bias, serta memperkuat objektivitas.
Dalam kehidupan sosial maupun akademik, setiap individu memiliki latar belakang, pengalaman, dan nilai yang berbeda. Oleh karena itu, pendapat yang muncul pun bisa beragam. Mengeksplorasi perspektif berarti berusaha memahami siapa yang diuntungkan, siapa yang dirugikan, dan bagaimana pihak lain memandang suatu masalah.
Contoh: Dalam isu penggunaan kecerdasan buatan (AI) di sekolah, guru mungkin melihatnya sebagai alat bantu pengajaran, siswa melihatnya sebagai sarana belajar mandiri, sedangkan orang tua khawatir tentang potensi ketergantungan. Dengan memahami semua perspektif ini, solusi yang diambil bisa lebih komprehensif dan adil.
Tahap ini melatih empati intelektual, yakni kemampuan untuk menempatkan diri pada posisi orang lain sebelum mengambil kesimpulan.
4. Menghasilkan Alternatif (Generate Alternatives)
Tahap berikutnya adalah kemampuan untuk mengembangkan berbagai pilihan solusi. Sering kali orang terjebak pada satu jawaban atau cara tertentu, padahal ada banyak kemungkinan lain. Inilah yang membedakan berpikir kritis dengan berpikir biasa—kemampuannya untuk menghasilkan opsi kreatif.
Pertanyaan yang dapat diajukan:
Apa solusi lain yang mungkin berhasil?
Bagaimana orang lain menyelesaikan masalah serupa?
Bisakah beberapa ide digabungkan?
Apa yang belum pernah dicoba sebelumnya?
Dalam pendidikan matematika, misalnya, guru tidak hanya mengandalkan metode ceramah, tetapi juga mengeksplorasi pembelajaran berbasis proyek, gamifikasi, atau pendekatan kolaboratif.
Dengan membuka ruang untuk alternatif, keputusan yang diambil lebih fleksibel, inovatif, dan tidak kaku.
5. Memetakan Implikasi (Map Implications)
Tahap terakhir adalah melihat dampak atau konsekuensi dari setiap pilihan yang dibuat. Setiap keputusan membawa risiko dan efek berantai, baik positif maupun negatif.
Seorang pemikir kritis tidak hanya fokus pada solusi jangka pendek, tetapi juga mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang. Dengan cara ini, keputusan yang diambil lebih berkelanjutan.
Contoh: Jika sekolah memutuskan untuk mengganti seluruh buku cetak dengan e-book, maka implikasinya tidak hanya soal efisiensi biaya, tetapi juga terkait akses siswa yang tidak memiliki perangkat digital, kemungkinan distraksi, hingga masalah kesehatan mata.
Tahap ini menuntut kemampuan berpikir ke depan (foresight) agar keputusan tidak menimbulkan masalah baru di masa depan.
Siklus yang Berulang
Kelima tahap di atas tidak berhenti pada satu titik, tetapi membentuk siklus. Setelah memetakan implikasi, seorang pemikir kritis mungkin kembali ke tahap pertama untuk mengumpulkan bukti baru, atau menantang asumsi yang belum diuji. Dengan demikian, berpikir kritis adalah proses berulang yang terus disempurnakan sesuai konteks dan informasi terbaru.
Hal ini sejalan dengan prinsip ilmiah bahwa pengetahuan selalu bersifat tentatif—apa yang dianggap benar hari ini bisa direvisi jika ditemukan bukti baru di kemudian hari.
Penerapan dalam Dunia Pendidikan
Dalam pendidikan, siklus berpikir kritis ini bisa diaplikasikan baik oleh guru maupun siswa.
Guru: Menggunakan siklus ini dalam merancang pembelajaran yang mendorong siswa berpikir mendalam, bukan sekadar menghafal. Misalnya, ketika mengajarkan konsep matematika, guru tidak hanya menyajikan rumus, tetapi juga mengajak siswa mempertanyakan asal-usul rumus, menguji asumsi, dan melihat penerapan dalam konteks kehidupan nyata.
Siswa: Melatih diri dengan bertanya “mengapa” dan “bagaimana” daripada sekadar “apa”. Misalnya, ketika membaca artikel, siswa tidak langsung percaya, tetapi memeriksa sumber, membandingkan perspektif, lalu menyusun argumen pribadi.
Kesimpulan
Siklus berpikir kritis yang terdiri atas lima tahap—mengumpulkan bukti, menantang asumsi, mengeksplorasi perspektif, menghasilkan alternatif, dan memetakan implikasi—merupakan kerangka sistematis untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan.
Kemampuan ini sangat relevan dalam dunia pendidikan, penelitian, maupun kehidupan sehari-hari karena membantu individu berpikir lebih objektif, reflektif, dan bertanggung jawab.
Dengan membiasakan diri menjalani siklus ini, seseorang tidak hanya akan lebih bijak dalam mengambil keputusan, tetapi juga mampu mengantisipasi masalah, memahami orang lain, serta memberikan solusi yang lebih kreatif dan berkelanjutan.






0 komentar:
Posting Komentar